Zaman prasejarah Bali merupakan awal
dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa
itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum
dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti
tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali
keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang,
maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat
memenuhi segala harapan kita.
Berkat penelitian yang tekun dan
terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia
maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap
kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche
Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia
mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara
lain tentang nekara
Pejeng, Trunyan, dan Pura Bukit Penulisan.
Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian
cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.
Penelitian prasejarah di Bali
dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren
dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia
Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan
yaitu tahun 1973,
1974,
1984,
1985.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda
temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga
bahwa lokasi Situs
Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan
nelayan dari zaman perundagian
di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah
ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali
pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
- Masa bercocok tanam
- Masa perundagian
Sisa-sisa dari kebudayaan paling
awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960
dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng bagian timur), serta di tepi timur dan
tenggara Danau Batur (Kintamani)
alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang
dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar.
Kehidupan penduduk pada masa ini
adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya. Mereka
hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah
yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang
cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh
kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum
laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk
menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk
menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam
sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah manusia pada
masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu sama lainnya.
Walaupun bukti-bukti yang terdapat
di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di Pacitan
(Jawa Timur)
dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat
batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat
batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus
erectus atau keturunannya. Kalau demikian
mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus
atau keturunannya.
Pada masa ini corak hidup yang
berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan
makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya
yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan
manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua
Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini terletak di pegunungan gamping
di Semenanjung Benoa.
Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang Boma, tetapi goa
ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung
disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat
serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang
terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua
ujungnya diruncingkan.
Alat-alat semacam ini ditemukan pula
di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal
pula di Australia Timur. Di luar Bali
ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang menggambarkan kehidupan sosial
ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding
goa atau di dinding-dinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa,
burung,
manusia, perahu,
lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan lainnya
ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan artinya menjadi
lebih terang juga di antaranya adalah lukisan
kadal
seperti yang terdapat di Pulau Seram
dan Papua, mungkin mengandung arti kekuatan magis yang dianggap
sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku.
Masa bercocok tanam lahir melalui
proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik
amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada
masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah
cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi
menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat
besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam
perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa kehidupan dari masa
bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi
dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori Kern dan
teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia,
yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman neolithik.
Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang
penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama
terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang
penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata
dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi)
adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan
perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500
S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara
khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada
masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini
sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa
bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan
sebagai bahasa Austronesia.
Gong, yang ditemukan pula di
berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari masa
perundagian.
Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal
tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan
yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan
peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya
meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar